• About

Dunia Asril

~ Personal dan hal-hal di sekitar

Dunia Asril

Tag Archives: #MuktamarMuhammadiyah

Bagian III, Menjemput Rezeki, Menguji Nyali di Muktamar Muhammadiyah Ke-47 Makassar

28 Jumat Agu 2015

Posted by asrildansekitarnya in event, makassar

≈ Tinggalkan komentar

Tag

#KelasMenulisKepo, #Makassar, #Muktamar47, #MuktamarMuhammadiyah

Sebelumnya di Muktamar Muhammadiyah ke-47

Bagian I : https://asrildansekitarnya.wordpress.com/2015/08/20/menjemput-rezeki-menguji-nyali-di-muktamar-muhammadiyah-ke-47-makassar/

Bagian II : https://asrildansekitarnya.wordpress.com/2015/08/20/menjemput-rezeki-menguji-nyali-di-muktamar-muhammadiyah-ke-47-makassar-bagian-ii/

“Kak…!!!Kak Achil..!! Kak…Kak AChil..!! Bangunmaki’, sudah jam lima subuh..”

Rasanya saya baru saja menenggelamkan diri menyatu bersama kasur hotel. Bahkan belum sempat bermimpi malahan.

“ Kak.. Bangunmakie’. Terlambatmi orang..!! Kak…!! Kak Achilll….” Kali ini Achi kembali membangunkan sambil mengguncang-guncangkan tubuh saya.

Saya membuka membuka mata. Mengulat, meregangkan otot sejenak, lalu memaksakan diri untuk duduk. Saya menguap sambil mengerjap –ngerjapkan mata mengumpulkan kesadaran.

Achi menggerutu, mengumpat diri sendiri karena kebablasan tidur. Sambil mengenakan kemeja, langkahnya mondar mandir, sementara tangannya sibuk mengumpulkan tumpukan kertas  dan menjejalkannya begitu saja ke dalam ransel.

Saya melirik jam.  Sontak sepersekian detik kesadaran saya pulih. Dalam satu kali lompatan sayameraih ransel, serampangan  mencari kotak perlengkapan pribadi, dan melesat secepat mungkin ke kamar mandi.

Sikat gigi, facial foam, deodorant.

Tiga benda Pertolongan Pertama Pada saat Kepepet (P3K) , kembali menyelematkan saya subuh ini.

Kurang dari sepuluh menit saya sudah rapi, berlari menuju lift. Achi sibuk berkoordinasi via telfon. Memastikan semua tim telah standby di depan hotel masing-masing. Kami berlari kecil menuju parkiran. Sedikit ngebut, Achi mengantarkan saya menuju hotel Gladiol.

Peserta sementara sarapan, saat saya tiba di hotel Gladiol. Sembari melemparkan senyum, saya berbasa basi menanyakan  apakah tidur mereka cukup nyenyak atau tidak.

“ Ternyata di Makassar masih ramadhan toh mas. Ini kita nyampe nyampe’, langsung disuruh sahur. Sarapannya pagi pagi buta kayak gini toh..” seloroh seorang Ibu paruh baya dengan logat Jawa yang medok.

Peserta lain tersenyum menimpali. Mau tidak mau saya ikut tersenyum.

Saya mengambil barisan di antrian sarapan. Masih ada satu bus yang belum datang. Masih tersisa waktu untuk beberapa sendok nasi goreng sebelum beraktifitas hari ini.

Usai sarapan, saya bergabung bersama Aswar yang sedang asyik mengobrol dengan beberapa supir bus lainnya yang menunggu di parkiran.

 “ Wa’, bus yang satu posisinya sudah di mana?”

Aswar menoleh, tersenyum pahit.

“ Masih sekitaran jalan perintis bede’. Barusan Mas Slamet telfon”

“ Hmm. Untung masalah koordinasi transportasi langsung dihandle sama tim Surabaya, bukan dengan tim kita di’ “ saya mengela nafas. Menghirup udara subuh sebanyak banyaknya.

“Kalau misalkan kak Achi yang handle transportasi, tidak mungkin juga mau pakai bus selain bus pariwisata.’kak. Kalau bus pariwisata, ndak pernah ngaret. Mereka standby terus malah”

 

Saya diam mencerna.  Selama ini saya berpikir , semua bus yang membawa rombongan tour adalah bus pariwisata. Bahkan terkadang saya mengernyitkan kening ketika berpapasan dengan salah satu bus pariwisata yang isinya hanya segelintir orang.

Jika dalam satu bus pariwisata bisa memuat 20-30 orang, mengapa tidak menyewa beberapa empat sampai lima unit mobil saja? Ilmu matematika saya segera berhitung sekian detik. Cukup menghemat sekitar 40%  jika mereka harus menyewa satu unit bus .

Lebih nyaman, dan lebih leluasa membawa kendaraan kemana-mana. Meskipun kurang praktis karena rombongan harus terpisah.

“ Tidak sembarangan kendaraan ‘kak yang bisa mengantar tamu tour. Bus pariwisata sudah itu sudah terbiasa mi’ disiplin. Mereka paham betul, kalau tamu mau maksimalkan waktu mengunjungi tempat sebanyak mungkin yang mereka bisa kunjungi”

Saya merogoh  saku jeans. Menyulut sebatang rokok, lalu kembali menyimak penuturan Aswar.

“ Kalau supir bus pariwisata, sudah di luar kepala mereka, para tamu mau dibawa kemana. Mulai dari  tempat rekomendasi khusus kuliner, belanja, oleh-oleh, wisata, tentu mereka paham mi. Tidak pakai kesasar lagi” tandas Aswar.

Nyaris setengah jam, kami mengobrol. Obrolan berakhir ketika bus  yang kami tungggu akhirnya tiba. Subuh telah berganti pagi ketika semua bus telah terisi penuh oleh peserta dari hotel Gladiol dan Capital. Bus yang lain telah berangkat lebih dulu menuju lapangan Karebosi.

Antrian Bus di Gerbang Lokasi Pembukaan Muktamar, Jl. Ahm. Yani, Makassar

Selama perjalanan saya menyempatkan mengobrol dengan supir bus.

“ Aihh,, kurang sekali tidur ini ‘Pak. Sejak semalam bolak balik bandara menjemput rombongan.” Pak supir mengeluh atas kekurangan waktu istirahatnya.

“Sama jaki’, Pak. Tapi kan sebanding ji ‘ lah rezekinya untuk istri dan anak ta’ di rumah toh? Hehe..Jarang kegiatan seperti ini di Makassar. Kapan lagi?”. Saya mengucapkan hal serupa untuk mengumpulkan diri sekaligus.

“ Iye , lumayan ji memang lah Pak. Banyak lembur lemburnya. Ini saja, setelah sampai, harus ka’ lagi ke UNISMUH, jemput rombongan lainnya” ujar sang supir sambil sumringah.

“ Loh, Tidak terlambat ji’ itu? Kenapa bukan yang lain. Tidak dibagi-bagi kah ‘Pak? Apalagi pasti macet sebentar.” Saya menoleh sejenak, mengalihkan perhatian dari jalan yang kami lalui.

“ Tidak dibagi ‘Pak. Pokoknya siapa yang sudah selesai langsung segera jemput rombongan yang lain” tandasnya.

Ternyata benar. Masalah transportasi dan mobilisasi peserta akan menajdi PR besar untuk pelaksanaan Muktamar kali ini.

Lalu lintas mulai padat ketika kami tiba di lokasi. Tentu saja beberapa arus lalu lintas harus dialihkan.

Untung saja bus yang mengantar rombongan masih bisa merapat hingga ke gerbang, untuk menurunkan peserta rombongan.

Sebelum berpisah, saya memberi arahan kepada peserta dan supir bus untuk bertemu di depan Monumen Mandala, sekitar pukul 13.00, tepat ketika acara diperkirakan selesai.

Acara pembukaan masih sekitar 3-4 jam lagi. Saya menyempatkan diri mengintip ke lokasi pembukaan sebelum bergabung kembali dengan tim yang telah menunggu untuk kembali ke Hotel.

******

“Kak, bagaimana catering, siapmi? Ada perubahan rencana, rombongan sudah bisa meninggalkan lokasi sekarang. Kalau bisa pas sampai di hotel, lunch box nya mereka sudah standby”

Achi baru saja mengabarkan perubahan rencana. Lunch box harus ready satu jam lebih awal dari perkiraan sebelumnya.

“Loh, bukannya jam satu saing yah, ‘Ci’?”

“ Tidak tau juga ini’ kak. Banyak peserta yang sudah mau pulang. Ini semua tim dalam perjalanan menjemput rombongan”.

Saya menyempatkan berpikir sejenak. Penasaran apa yang terjadi di lokasi pembukaan Muktamar. Apakah rangkaian acara telah selesai atau ada hal lain. Atau mungkin saja tim Penggembira rombongan kami sudah bosan lalu memutuskan untuk pergi.

Tapi, bukan berarti karena rasa bosan kita bisa pergi begitu saja, kan?

 

Dihari kedua, kami melakukan rolling. Achi turun ke lapangan handle peserta, dan saya ditarik mundur di lini belakang untuk langsung mengurus catering.

Saya kembali berpikir kemungkinan lain. Bisa saja peserta tim penggembira ini memang kebosanan dan tidak ada kepastian yang jelas, sehingga mereka memutuskan untuk pulang.

Yah, siapapun yang bosan menunggu ketidakpastian ber hak untuk pergi. 

Setelah menerima instruksi, saya kembali ke tim catering saya. Mencoba kalkulasi waktu.

“ Satu jam lagi, makanan sudah harus siap. Ada perubahan rencana, jam dua belas semua sudah harus diantar ke hotel” Saya berteriak ke tim yang sementara sibuk mengolah bahan.

“ Ih, ndak dapatki itu. Sekarang saja jam 11 mi. “ Ujar Madam, panggilan khusus saya ke koki utama.

“ Begini saja, Madam. Kita fokus dengan makanan utama dan bumbu. Garnish dan packing biar yang lain selesaikan. Selesaikan mi masakanta’ ”

Sejenak mereka berhenti, seolah menunggu instruksi selanjutnya.

“Ino’, panggil tetangga dulu, tiga-empat oranglah untuk bungkus sayur dan buahnya”  Ujar saya ke salah satu karyawan.

Ino’ langsung bergegas. Saya segera membuka sepatu dan kemeja, berganti dengan celemek. Kali ini mau tidak mau saya ikut terjun langsung untuk menggenjot kerja tim.

“Oh iya, ‘Pak. Setiap selesai dipacking ke dalam kantongan, langsung angkut ke mobil saja”

Saya member instruksi kepada tiga orang supir yang ikut ke lokasi catering siang itu. Sengaja kami membawa tiga unit mobil, agar lunch box bisa diangkut sekaligus tanpa harus bolak balik.

Tenaga ekstra telah tiba. Saya memberi arahan singkat ke mereka. Silahkan bantu apa saja, selain bumbu dan menu utama tentunya. Hanya saya dan Madam yang bisa menyentuh kedua hal tersebut. Tentunya ini untuk menjaga kontrol makanan kami.

Handphone saya tidak berhenti berdering. Aswar dan Achi bergantian menanyakan kesiapan catering. Mereka mengabarkan sebagian peserta telah menuju ke hotel untuk istirahat.

Untungnya setiap kali menelfon, Achi selalu bertanya tanpa nada panik. Otak saya tetap bisa fokus mengontrol tim catering. Meskipun begitu, nyaris setiap lima menit saya melirik kea rah jam dinding.

“ Inoo….. Tolong cari tambahan dua tenaga lagi!! Harus lebih cepat”. Teriak saya.

Ino bergegas. Tidak cukup lima menit, dia telah kembali bersama dua orang ibu paruh baya. Sepanjang saya memimpin catering, belum pernah saya menggunakan tim sebanyak ini. Bahkan dengan jumlah pesanan yang lebih banyak.

Apalagi kali ini secara tiga hari berturut-turut, dua gelombang setiap hari nya. Makan siang dan makan malam. Masing-masing maksimal hanya tiga jam, sebelum makanan sampai di tangan konsumen. Tentu saja ini untuk menjaga kesegaran menu.

“ Cil, sisa sambelnya ini. Tapi tidak dapat waktunya, minimal 40 menit baru bisa masak bumbunya, bukanmi masalah jumlah tenaga ini, masalah waktu  nya. ” Ujar Madam meminta pertimbangan.

“Plan B, Madam. Sambal Dabu-Dabu.”  

Madam mengangguk, kembali fokus mengolah bumbu.

Mobil pertama telah terisi penuh. Saya memberi selembar catatan kepada sang supir, untuk mengantarkan lunchbox, untuk dua hotel yang berbeda.

Tim kembali sibuk. Suara blender, spatula dan wajan, desis suara bumbu tumisan, hanya itu yang sempat terdengar untuk beberapa saat. Saya mencoba berseloroh untuk mencairkan suasana.

Satu jam berikutnya, mobil kedua berangkat. Sama halnya dengan mobil pertama, saya memberi secarik kertas jumlah pesanan yang harus didrowp, untuk dua hotel yang berbeda.

Selang beberapa waktu, handphone saya tidak berhenti bordering. Mulai dari Achi yang terus memantau perkembangan persiapan lunchbox, hingga dari supir yang sempat kebingungan menemukan alamat hotel.

Ternyata betul apa yang dikatakan Aswar, tidak sembarangan yang bisa menghandle tamu. Supir saja masih kebingungan mencari alamat hotel, padahal telah dibekali dengan alamat.

Satu setengah jam berikutnya, semua lunchbox telah diantarkan hinga ke hotel terakhir. Beberapa tamu sempat mengeluh,  atas keterlambatan makan siang mereka. Untung saja dengan alasan macet, mereka bisa memaklumi.

Perjalanan menuju hotel pun mereka sempat mengalami macet yang cukup lama.  Saya segera meminta kesediaan mereka untuk segera menikmati santap siang lalu beristirahat. Waktu kita tidak banyak

Sebentar sore kita akan menikmati senja di pantai Losari. Tentunya sebelum itu mereka akan kami ajak untuk mengunjungi pusat perbelanjaan oleh- oleh di jalan Somba Opu.

Mendengar hal demikian, mereka kembali sumringah. Bahkan beberapa peserta meminta agar langsung berangkat saat itu juga.

“Yah, wong sabar toh ‘Bu. Mending istirahat untuk kumpulkan tenaga. Entar sore kita ujian mental. Kuat mana ilmu tawar menawarnya Ibu’, dengan yang penjaga toko oleh oleh yang ada di Jalan Somba Opu”

“Boleh ‘Mas. Liat yah kalau sebentar saya yang menawar. Penjualnya pasti langsung minta tutup toko” Kilah seorang Ibu paruh baya. Sejenak saya mengingat. Oiya, beliau yang semalam sempat dongkol berat di Bandara.

Peserta yang lain ikut berseloroh . Saya sampaikan, Pukul 15.30 kita berkumpul lagi depan hotel untuk City Tour. Hampir semua peserta tidak sabar menunggu.

Saya bergegas kembali menuju Aswin inn Hotel. Briefing untuk planning selanjutnya.

Saya tersenyum sambil geleng geleng kepala mengingat kejadian barusan. Yang jelas saya berhasil membuktikan satu teori klasik.

“ Jika wanita marah, tidak perlu membujuk terlalu lama. Cukup ajak dia berbelanja”.

Iklan

Menjemput Rezeki, Menguji Nyali di Muktamar Muhammadiyah ke-47 Makassar (Bagian II)

20 Kamis Agu 2015

Posted by asrildansekitarnya in event, makassar, Uncategorized

≈ Tinggalkan komentar

Tag

#Makassar, #Muktamar47, #MuktamarMuhammadiyah

Pukul 00.15 Wita

Penjemputan rombongan gelombang ketiga.

Kali ini saya, Asep, dan Aswar berjalan santai dari parkiran bandara menuju gerbang kedatangan. Diperjalanan menuju bandara, kami memperoleh informasi dari Mas Slamet- Tim dari Surabaya yang tiba sejak semalam dan standby di bandara-bahwa pesawat yang membawa rombongan gelombang ketiga mengalami delay selama satu jam.

Antrian bus penjemputan mengulat padat. Petugas bandara terpaksa membagi dua pemberhentian bus penjemputan. Di bagian basement, khusus penjemputan bus peserta Olimpiade Olahraga Siswa Nasional ( O2SN), dan diparkiran atas khusus bus penjemputan peserta Muktamar.

Papan informasi menunjukkan bahwa pesawat yang membawa rombongan gelombang ketiga telah mendarat. Informasi yang kami terima dari Mas Slamet, tim dari Surabaya sampai mem”booking” satu unit pesawat, khusus membawa rombongan kali ini.

Situasi bandara kembali ramai. Gerbang kedatangan dipadati penumpang yang baru saja tiba. Kami kembali mengangkat sign board , dan mencari rombongan sambil meneriakkan nama hotel masing-masing.

Situasi mulai tegang ketika bus yang harus ditumpangi menuju hotel belum juga muncul di gerbang penjemputan. Mas Slamet kelihatan sibuk melakukan koordinasi via telfon dengan koordintor Bus Damri. Mereka menerima instruksi dari petugas bandara , tidak boleh menjemput di gerbang penjemputan dan hanya bisa menunggu di parkiran.

Tim segera mengarahkan peserta menuju parkiran. Ada beberapa yang mengeluh. Bisa dimaklumi mengingat jadwal penerbangan dini hari dan harus berjalan kaki mengangkat kopor bawaan menuju parkiran tentunya cukup menguras tenaga.

Tiga dari lima unit Bus penjemputan telah terisi. Petugas bandara tiba-tiba menghampiri kami.

“ Pak, maaf, untuk bus ini sama sekali belum melapor untuk penjemputan. Diluar izin, kendaraan ber plat kuning tidak boleh melakukan penjemputan dalam Bandara” sergah mereka

“Tapi pak, peserta Muktamar ji ini juga” saya merangkul salah satu petugas dan membawa mereka menepi dari rombongan

“ Iya pak, cocok itu. Tapi yang bisa menjemput hanya bus yang telah melapor. Kami kena teguran dari atasan. Silahkan ketemu atasan kami dulu” petugas lainnya kembali berkilah.

“ Ok, sabar pak. Saya selesaikan ini dulu di’, bagaimanapun mereka tamu ta’. Tidak enak kalau terlantar” . Saya mencoba bernegoisasi sambil memutar otak agar tidak terlibat jauh dengan pihak administrasi bandara.

Masih sementara berdiskusi dengan petugas , salah seorang wanita paruh baya menyeletuk.

“ Mas, ini bus yang lain mana? Ini sudah jam berapa dan kami masih di Bandara?”

Mata saya liar mencari Aswar dan Asep. Saya meminta mereka berkoordinasi dengan Mas Slamet yang menangani masalah bus penjemputan.

Tiga bus siap berangkat, dan dua bus lainnya masih belum tampak. Mas Slamet meminta koordinator supir bus untuk segera update posisi terakhir mereka. Tidak sabar saya menghampiri.

“ Pak,,mana bus yang lain tawwa? Kasian ini tamu, seharusnya mereka sudah menuju hotel”.

“Tadi ada semuaji, Pak. Sempat memang mutar beberapa kali diparkiran. Kita bingung. Parkir di bawah, kita dilarang sama petugas, disuruh ke atas. Di bawah katanya khusus bus Litha Co yang menjemputO2SN. Pas kita ke atas, malah disuruh ke bawah sama panitia Muktamar, katanya di atas khusus “peserta” Muktamar saja.” Keluh pria bertubuh tegap dan berkulit gelap ini.

Tiba-tiba dua unit bus beriringan dari ujung parkiran bergerak menuju rombongan kami. Semoga ini bus yang ditunggu sejak tadi.

Belum sempat menarik nafas lega, bus perlahan mendekat. Dengan kondisi terisi penuh oleh penumpang lainnya. Loh??

Saya menoleh keheranan ke koordinator supir bus. Entah siapa nama beliau. Saya tidak sempat bertanya. Saya hanya menebak dari perawakannya, mungkin beliau berasal dari Timur Indonesia.

Tanpa menjawab, beliau segera menghentikan bus, dan berbincang sejenak dengan para supir bus. Sesekali terdengar beliau menghardik para supir, saking kesalnya mungkin. Selang lima menit, beliau kembali dengan tergopoh gopoh.

“Jadi begini pak, tadi mereka terpisah dari iring iringan bus kami. Tiba-tiba ada yang mengarahkan peserta dari kota lain untuk segera naik bus ini..”

Belum sempat berdiskusi, tiba-tiba ibu tadi kembali menyeletuk.

“ Mas, ini gimana? Acara seperti ini saja kok transportasinya kacau. Di tempat kami, kegiatan seperti ini kecil, Mas!!Masa kota besar seperti Makassar, tidak bisa mengurus seperti ini?!”

PLAKKK !! Seperti tamparan keras, jujur saja. Pelan saya menarik nafas, menghembuskan perlahan. Saya mengajak sang Ibu menepi dan menjelaskan duduk persoalan, bahwa ada kesalahan penumpang bus.

“ Lah, terus gimana, Mas? “

“ Sabar bu’ yah, akan kami cari solusi secepatnya.” Saya tersenyum meyakinkan. Senyum khas seperti malam sebelumnya.

Ketika perhatian saya teralih, Mas slamet masih sibuk koordinasi via telfon. Aswar dan Asep masih bernegoisasi dengan pihak administrasi bandara.

Seorang anak muda terlihat berbincang dengan koordinator supir bus. Saya segera menghampiri. Ternyata salah satu mahasiswa yang menjadi panitia lokal Muktamar. Masing-masing penumpang di bus, mulai tidak sabar memandang kami.

“ Begini saja pak, antar saja rombongan ku’ dulu, karena sudah terlanjur di atas bus. Nanti masalah bayarannya kita urus belakangan. Gampang,Pak” Ujar pemuda tersebut.

Bagaimanapun telinga saya memerah.

“ Tabe’ bos, ini bukan masalah tamu siapa atau bayarannya bagaimana. Sama sama tamu ta’ semua. Sama sama mengunjungi kota Makassar. Yah kita kasih saja siapa yang punya hak..!!” Saya menyela pembicaraan.

Pemuda tersebut terdiam sejenak. Seolah tidak menghiraukan dia merangkul koordinator supir, mengajak berjalan jauh. Mungkin saja mencoba negoisasi lebih halus. Saya tidak memberi kesempatan, segera menyusul dan mengikuti mereka.

Koordinator supir bingung mengambil keputusan. Saya tidak melepaskan tatapan dan mencari kepastian dari wajahnya.

Di ujung jalan ternyata telah menunggu seorang bapak paruh baya yang belakangan baru saya tahu bahwa beliau juga salah satu panitia Muktamar.

Setelah kooordinasi dengan pihak kantornya, sang koordinator memanggil kembali tiga supir bus yang sempat terpisah. Mereka didamprat habis habisan.

” Liat mi ini, ulah mu semua. sejak tadi saya bilang jangan terpisah dari rombongan. Kalau begini justru saya yang kena semprot dari kantor“. Kekesalan sang koordinator akhirnya tertumpah. Untung saja kami jauh dari keramaian, tidak perlu jadi tontonan.

Ke tiga supir hanya diam cengengesan. Wajah mereka merah, malu. Mereka bingung didamprat di depan umum.

sang koordinator supir bus kembali berunding dengan panitia Muktamar.

“ Maaf pak, untuk rombongan bapak, bus nya memang masih dalam perjalanan. Bus ini memang khusus untuk rombongan bapak ini” Ujar sang koordinator seraya menunjuk ke saya

“ Kalau begitu rombongan bapak ini saja yang menunggu bus. Rombongan kami biar jalan dulu, sudah terlanjur di atas bus” Ujar bapak paruh baya tadi

“ Maaf pak, tamu saya juga tidak mau mi menunggu” saya menyahut segera. Tidak ada waktu untuk saling mengalah kali ini.

“Kalau begitu silahkan suruh penumpang saya turun. Saya sendiri tidak berani. Mereka juga sejak tadi pasti sudah mau cepat cepat beristirahat di hotel.”

Mendengar jawaban tersebut, saya segera meminta ke koordinator bus untuk bersiap-siap. Saya akan coba berbicara dengan rombongan yang sudah terlanjur di atas bus.

Bismillah…

Sambil berlari kecil, saya kembali menuju bus yang masih berjejer rapi. Dengan satu lompatan , saya melalui  tiga anak tangga bus sekaligus.

“ Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat malam bapak ibu” .

Saya berdiri di dalam bus, di depan penumpang, dengan senyum seramah mungkin. Setelah mereka menjawab salam, saya mengatur nafas dan langsung menyampaikan duduk persoalan

“ Sebelumnya kami ucapkan selamat datang di Kota Makassar, kota para Daeng. Terima kasih sudah berkenan berkunjung. Oh iya maaf sebelumnya, ada kesalahan tekhnis. Bus yang Bapak Ibu tumpangi saat ini adalah milik bus dari rombongan lain”. Saya berhenti sejenak. Bus seperti terisi dengan ribuan tawon, mereka menggumamkan kekecewaan.

“ Berhubung semuanya sama-sama tamu Makassar, kami tidak membeda-bedakan tamu manapun, kami mohon kesediaannya untuk memberi hak atas bus ini kepada rombongan yang telah memesan bus ini terlebih dahulu”. Saya kembali berhenti, tersenyum dan memandang wajah kekecewaan para penumpang.

Untung saja di bus pertama ini , nyaris semua penumpang mengerti dan segera mengangkat barang lalu turun satu per satu.

Saya melanjutkan ke bus kedua. Sang koordinator bus tampak kewalahan menghadapi kekecewaan penumpang . Saya segera naik, dan berbisik kepada beliau.

“ Maaf pak, biar saya pi yang bereskan. Minta mi’ saja sama anggota ta’ untuk bersiap-siap” . Saya mengarahkan sang koordinator untuk bersiap siap dengan supir bus lainnya.

Saya mengulangi apa yang saya lakukan di bus pertama tadi. Sayangnya di bus kedua ini beberapa peserta sulit untuk mengalah.

“Lah terus bus kami mana Mas? Masa iya kami turun, terus menunggu??” Ujar salah satu penumpang

“ Informasi terakhir, katanya bus nya sudah diperjalanan, Pak. Silahkan menunggu dulu. Bus ini sudah ada penumpangnya dan masih sementara menunggu di luar.”

Beberapa penumpang melongok ke luar melalui jendela bus.

“ Loh pak, tapi kami ini peserta utama Muktamar. Mereka hanya Tim penggembira. Harusnya kami diprioritaskan, pagi- pagi kami harus menghadiri pembukaan loh? “Sergah bapak yang tadi, bahkan kali ini sambil berdiri dari tempat duduknya.

Pelan kembali saya menghela nafas. Dari luar jendela terlihat Asep kewalahan menghadapi rombongan kami. Pemilik “tahta” bus sebenarnya.

Saya kembali tersenyum seramah mungkin. Penumpang lain malah terlihat semakin masam

“ Mohon maaf sekali lagi pak. Tapi bus ini terlebih dahulu telah dipesan khusus oleh rombongan kami. Biar sama sama tidak kecewa, kami harap Ibu Bapak bersedia memberikan hak mereka atas bus ini, mereka bahkan sejak subuh sudah harus ada dilokasi agar bisa mendapat tempat.” Saya kembali mengedarkan pandangan menunggu reaksi.

“ Lalu kami kemana?! Ini gimana sih panitia di Makassar kok gak becus?! Jangan sampai setelah bus ini pergi, kami diterlantarkan begitu saja” Bapak tadi kembali bersikeras.

“Pokoknya kami tidak mau turun, jika belum ada kejelasan bus kami dimana. Kami tidak mau tau, mas ini panitia atau bukan, dari agen travel atau bukan. Yang jelas kami mau bus kami ada..!!” seorang peserta lain dengan setelan parlente ikut berdiri.

” Pak, kami bukan panitia yang khusus mengurus rombongan bapak. Kami malam ini ke bandarakhusus menjemput rombongan kami. Dengan bus ini, Pak !!” Tiba tiba dari arah belakang, Aswar ikut berusara, menahan kekesalan.

Saya memberi isyarat agar dia diam, dan membiarkan saya melanjutkan.

“ Insha Allah tidak akan seperti itu, Pak. Kebetulan kami dari agen travel. Panitia yang menjemput bapak ada diujung jalan menunggu bus yang khusus menjemput bapak. Kami akan bantu koordinasi dengan mereka. Sekali lagi dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada seluruh peserta Muktamar yang ada dalam bus ini, saya mohon kesediaannya agar bus ini diberikan kepada yang memiliki hak nya” .
Saya menutup negoisasi, sambil mempersilahkan penumpang turun dengan telapak tangan menuju ke arah pintu bus.

Masih bersungut sungut, perlahan satu per satu penumpang mulai turun. Sembari tersenyum dan meminta maaf, kami membantu mengangkat barang mereka turun dari bus.

” Woalahhh, gak papa kok Mas. Salah kita juga, masa iyo bus orang diserobot” Ujar seorang ibu sambil mengucapkan terima kasih dan berlalu.

Lima unit bus telah terisi penuh. Bus perlahan berjalan beriringan meninggalkan parkiran bandara. Dalam perjalanan sekali lagi saya mengucapkan selamat datang kepada rombongan dan menyampaikan ke mereka bahwa setelah sholat subuh, mereka dipersilahkan sarapan, dan bus akan siap menunggu depan hotel untuk langsung menuju lokasi pembukaan Muktamar.

image(3)

Recharge : setelah meredam ketegangan yang sempat terjadi di Bandara

Saya melirik jam di pergelangan tangan kiri. Pukul 02.30. Artinya mereka hanya punya waktu sekitar satu jam lebih untuk beristirahat setiba di hotel nantinya.

Tidak lupa saya sampaikan, di hotel telah menunggu dinner box yang akan dibagikan bersamaan dengan pembagian kunci kamar. Sebagian terlihat tidak peduli, terbawa kantuk, sebagian tersenyum. Lumayan pengobat kekecewaan atas keterlambatan malam ini, batin mereka mungkin.

Selama diperjalanan, pertanyaan seputar jarak tempuh dari bandara ke hotel dan dari hotel ke lokasi kegiatan kembali terlontar. Dengan tetap tersenyum ramah, kembali saya menjawab pertanyaan mereka. Selebihnya peserta mulai sibuk dengan kelelahan masing-masing.

Saya meraih gadget, memeriksa notifikasi di layar home. Sebuah pesan dari Achi via line, agar berkumpul kembali di Aswin inn Hotel, untuk koordinasi selanjutnya.

Saya melirik melalui spion bus. Nyaris semua penumpang terlihat lelah menahan kantuk. Tidak lama  mereka larut dalam tidur masing-masing.

Saya membayangkan kesibukan panitia lokal Muktamar kali ini. Kami saja yang hanya mengawal Tim Penggembira, mulai kerepotan. Tentu saja untuk kegiatan Nasional seperti ini, kesalahn tekhnis tidak dapat dihindarkan.

Saya berpikir, sempat membenarkan, apakah Makassar belum siap untuk kegiatan nasional seperti ini?

Masalah koordinasi, administrasi dengan petugas bandara, kesigapan panitia jika terjadi delay pesawat, kesiapan armada transportasi.

Saya segera mengalihkan pikiran. Mencoba rileks dan memejamkan mata, mencuri waktu istirahat sebelum berlomba dengan sang Fajar beberapa jam lagi.

*********

Selanjutnya https://asrildansekitarnya.wordpress.com/2015/08/28/bagian-iii-menjemput-rezeki-menguji-nyali-di-muktamar-muhammadiyah-ke-47-makassar/

Menjemput Rezeki, Menguji Nyali di Muktamar Muhammadiyah ke-47 Makassar.(Bagian I)

20 Kamis Agu 2015

Posted by asrildansekitarnya in Uncategorized

≈ Tinggalkan komentar

Tag

#Makassar, #Muktamar47, #MuktamarMuhammadiyah

Berawal pada suatu siang yang terik, di salah satu tempat “hang out” bernama Point House, yang terletak di jalan protokol AP. Pettarani, Makassar.

Kami baru saja briefing final persiapan wedding yang akan kami tangani beberapa hari ke depan.

“ Oh iya kak, awal agustus saya punya rombongan tour dari luar kota. Selama tiga hari. Bisaki’ ikut terjun bantu handle tamu..? Tournya juga palingan dalam kota ji’ “. Ujar Achi, salah satu tim yang ikut hadir pada saat itu. Saya mengajaknya sebagai freelance dalam Wedding Organize saya kali ini. Tentu saja diluar pekerjaan utamanya sebagai orang yang berkecimpung dibidang tour dan travel.

“Masalah honor, janganmaki ragu. Minimal sama lah dengan honor saya sebagai freelance di Wedding Organize ta’..hahahah..” Seloroh Achi, mencoba meyakinkan saya.

Saya berpikir sejenak. Ini bukan hanya mengenai honor. Tour travel merupakan hal yang baru sama sekali bagi saya. Saya sendiri sampai saat ini belum paham, apa yang menjadi pertimbangan Achi untuk mengajak saya bergabung di tim “Feelindo Tour & Travel” yang dipimpinnyanya.

Memuaskan orang dibidang jasa tentu saja bukan hal yang mudah. Terlebih jika kita belum memiliki pengalaman sama sekali.

“Hahahahha..jadi ceritanya kau balas dendam ini yah Achi’, masalah honor,,??” Saya berkelakar, sambil mengulur waktu berpikir sejenak.

“ OK,,DEAL…!!! Saya siap bergabung..” Segera saya meraih dan menjabat tangan Achi yang masih menari lincah di atas keybord notebooknya. Achi hanya mendengus kesal, kesibukannyasedikit terganggu.

Saya kembali menyibukkan pikiran dengan pengalaman baru yang akan saya temui nantinya

******

Nyaris dua menit saya membiarkan gadget saya bergetar, saya melirik sekilas, memperhatikan notifikasi yang muncul di layar home. Tanggung, saya melanjutkan pekerjaan saya.

Instruksi tambahan dari Achi ternyata. Dia ingin dinner dan lunch box peserta tour sekalian dihandle oleh catering saya. Setelah menghubungi Achi kembali dan memastikan menu, imajinasi saya mulai membuncah.

Saya sudah memiliki bayangan awal, minimal sekitar 450 orang jumlah tamu kali ini. Bahkan dengan memperhatikan jadwal pengatantaran catering, sudah bisa tertebak, jadwal kedatangan mereka di Makassar tidak bersamaan.

******

“Ok, jadi ini lembaran itenary peserta selama mereka di Makassar. Silahkan dibaca dan silahkan bertanya jika masih ada yang kurang jelas”

Achi baru saja memulai briefing , tepat ketika saya menghempaskan tubuh di atas sofa empuk, di lobby Aswin Hotel, salah satu hotel bintang tiga yang terletak di jalan Boulevard Makassar. Saya memperhatikan dengan seksama lembaran itenary yang dibagikan kepada tim kami sore itu.

Finally, saya sudah memiliki sedikit gambaran jelas. Selain jumlah peserta sekitar 450 orang, mereka juga tersebar di tujuh hotel bintang tiga di Makassar. Aswin inn Hotel, Trisula Hotel, JL Star Hotel, Max Hotel, Gladiol Hotel, Capital Hotel, dan Raising Hotel.

Untungnya nyaris semua hotel tersebut letaknya berdekatan. Tentu saja ini memudahkan kami dalam hal koordinasi tim. Kecuali Raising hotel yang lokasinya agak jauh dari hotel lainnya.

Saya kembali memperhatikan lembaran itenary. Ada sekitar 17 unit bus plus empat unit Avanza yang akan memobilisasi peserta selama di Makassar.

“ Jadi yang kita kawal ini Tim Penggembira. Bukan peserta utama Muktamar. Jadi kita sama sekali tidak bersentuhan langsung dengan panitia lokal Muktamar” Ujar Achi melanjutkan briefing.

“ Total keseluruhan tim kita sepuluh orang. Lima orang dari Makassar dan lima lainnya dari tim travel Surabaya. Tim dari Surabaya baru tiba sebentar malam”

Saya segera mengalihkan pandangan, mencari jawaban dalam perkataan Achi barusan. Belum habis keterkejutan bahwa ternyata ini kegiatan Muktamar, sekarang saya terpaksa mengerutkan kening. Bagaimana mungkin mengawal 450 orang dengan “hanya” sepuluh orang?

“ Tenangmi kak, diantara sepuluh orang itu, hanya kak Achil yang bukan orang travel. Selebihnya orang yang telah berpengalaman mengawal tamu ratusan tamu.” Achi berbisik lirih menyadari keterkejutan saya.

“Tapi itu riskan Achi’. Bagaimana kalau…” saya berusaha menyela.

“ Tenangmi kak, kita tidak punya waktu untuk berdebat. Ingat kak, satu komando..” Achi menghentikan perdebatan.

“Whatever ‘Ci. You Boss nya kali ini..” . Saya mengalah dan memilih mengikuti alur. Achi tersenyum puas.

Tugas pertama saya, memastikan check in peserta ke beberapa hotel, sehingga tepat ketika peserta tiba di hotel masing-masing, mereka langsung bisa beristirahat di kamar tanpa harus direpotkan dengan urusan administrasi sebelum check in.

Urusan administrasi selesai. Saya beserta dua orang lainnya, Asep dan Aswar bergegas menuju bandara. Malam ini kami akan menjemput kedatangan peserta dua gelombang sekaligus. Gelombang pertama tiba pukul 19.30, sedangkan gelombang ke dua diperkirakan tiba pukul 20.10 WITA.

Dengan sedikit tergesa-gesa kami berlari menuju terminal kedatangan Bandara International Sultan Hasanuddin. Masih menyisakan 15 menit sebelum kedatangan gelombang pertama.

Bandara Sultan Hasanudiin terlihat sibuk.Ratusan orang memadati terminal kedatangan. Setiap jarak sekian meter terdapat rombongan tamu dari kota lain.

Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sekilas saya membaca spanduk bertuliskan “ Selamat Datang Peserta O2SN di Kota Makassar”. Sesekali mata saya juga tertumbuk dengan spanduk ucapan “Selamat datang peserta Muktamar Muhammadiyah ke -47 di Kota Makassar”.image(12)

Situasi kepadatan terminal kedatangan Bandara Sultan Hasanuddin

Wajar Bandara Sultan Hasanuddin terlihat sibuk dari biasanya, tidak hanya satu, tapi ternyata ada dua event nasional sekaligus menunjuk kota yang menuju “Kota Dunia” ini sebagai tuan rumah dari ke dua event tersebut.

Antrian bus memanjang sepanjang gerbang penjemputan lantai bawah , menanti rombongan angkutan mereka. Petugas bandara terlihat hilir mudik dimana mana, memastikan operasional bandara berjalan lancar.

Selang beberapa menit, Achi menghampiri, membagikan “Sign Board” bertuliskan nama hotel masing-masing. Gelombang pertama telah tiba. Kami menanti di gerbang kedatangan. Sesekali meneriakkan nama hotel masing-masing seraya melontarkan senyuman.

“ Rombongan hotel Gladiol, rombongan hotel Gladiol,,,Silahkan berkumpul tepat di belakang saya..”

Dari depan, nampak beberapa orang menuju ke arah saya, sambil mengacungkan jari..

“Mas..kami ke hotel Gladiol ,, kumpul dimana mas ehh?” Tanya seorang ibu paruh baya dengan logat Surabaya yang kental

“ Assalamu alaikum Ibu, Selamat datang di Makassar. Silahkan langsung ke belakang saya sambil tunggu peserta lainnya” . Saya menyambut hangat peserta yang baru saja tiba.

image(1)

Mengawal rombongan hotel Gladiol menuju Bus penjemputan.

Tidak jarang saya bertabrakan pandangan dengan Achi. Dia tersenyum geli melihat “keramahan” saya yang mungkin agak berelebihan menurutnya.

“Kak,bisa tidak senyumta’ biasa saja. Eneg saya lihatnya hahaha..” Achi menghampiri sambil berseloroh

“ Loh,apa yang salah. Mereka pasti capek setelah perjalanan udara. Belum lapar. Haruski’ kasih semangat. Kita juga tunjukkan orang Makassar itu hangat dan ramah” saya mengelak dan kembali fokus mencari rombongan.

“ Yaaakk. Hotel Gladiol..hotel Gladiol..silahkan berkumpul di belakang saya, Pak, Bu’. Selamat datang di Makassar.”

Rombongan gelombang pertama telah berkumpul. Saya melirik papan informasi. Pesawat gelombang berikutnya mengalami delay setengah jam. Achi segera memberi instruksi untuk membagikan dinner box kepada peserta yang telah tiba.

Saya bergegas, tidak lupa dengan senyum khas saya malam itu. Kami kemudian membiarkan peserta meregangkan otot sejenak sambil menikmati santap malam mereka.

Setelah rombongan kedua tiba, semua peserta segera diarahkan menuju bus penjemputan . Selama perjalanan, hanya beberapa pertanyaan yang terlontar dari peserta, termasuk jarak tempuh Bandara ke hotel dan jarak tempuh hotel ke lokasi pembukaan Muktamar.

Setelah pertanyaan mereka terjawab, saya menyampaikan informasi bahwa besok kita akan sarapan setelah sholat subuh, dan selanjutnya langsung berangkat dari hotel menuju Lapangan Karebosi yang menjadi lokasi pembukaan Muktamar ke-47.

Hal ini untuk menghindari kemacetan dan peserta dapat diturunkan langsung tepat di gerbang lokasi ketika jalan masih sepi.

Saya menghela nafas lega. Jujur saja saya belum siap untuk menjawab pertanyaan lainnya layaknya seorang “guide” professional. Selanjutnya saya memilih diam. Kembali membiarkan peserta bersantai di atas bus, hinggga tiba di hotel tujuan.

Tim kembali berkumpul di Aswin inn Hotel. Briefing dengan tim Surabaya. Selanjutnya bersiap untuk penjemputan gelombang ke tiga, pukul 00.30 dini hari.

******

Selanjutnya

https://asrildansekitarnya.wordpress.com/2015/08/20/menjemput-rezeki-menguji-nyali-di-muktamar-muhammadiyah-ke-47-makassar-bagian-ii/

Tulisan Terakhir

  • Musik hutan 2015, Tamparan Untuk Penikmat Alam Yang Serampangan.
  • #BatuSekam, Menguliti Matamatahari.
  • Bagian III, Menjemput Rezeki, Menguji Nyali di Muktamar Muhammadiyah Ke-47 Makassar
  • #BatuSekam, Maafkan Saya, Ian.
  • Menjemput Rezeki, Menguji Nyali di Muktamar Muhammadiyah ke-47 Makassar (Bagian II)

Arsip

  • September 2015
  • Agustus 2015
  • Juni 2015

Kategori

  • event
  • makassar
  • musik
  • review blog
  • travelling
  • Uncategorized

Support By

Iklan

Blog di WordPress.com.

Batal